anoqnews kik yanto
  • 24/03/2025
  • Last Update 20/03/2025 01:03
  • Indonesia

Benarkah Nilai Tambang Laut Belitung Timur Senilai Rp 271 Triliun?

Benarkah Nilai Tambang Laut Belitung Timur Senilai Rp 271 Triliun?

BELITUNG TIMUR – Belum selesai merebaknya kasus tata niaga timah yang telah menimbulkan kerugian negara yang fantastis dan telah menyeret sejumlah tersangka termasuk para pesohor, Belitung Timur Kembali digegerkan dengan pernyataan seorang Bupati pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VII DPR RI, Hari Selasa (27/3/2024). Beliau menyebutkan bahwa laut Belitung Timur belum tersentuh, dimana disitu terdapat cadangan dengan nilai 271 triliun rupiah. Pernyataan itu di dapat Bupati Belitung Timur, Burhanudin yang akrab di sapa Aan, dari Direktur Utama PT. Timah, Tbk.

Menyoal pernyataan ini, maka perlu kita telaah dengan seksama. Apakah nilai IDR 271 triliun adalah nilai kandungan timah (tin content) yang di kalikan dengan harga jual pada saat dilakukan perhitungan cadangan.  Atau merupakan nilai yang didasarkan oleh nilai inherent yang terdapat di dalam proyek tersebut. Yang paling mengejutkan lagi, nilai tersebut jauh di atas nilai Market Capitalization dari PT. Timah itu sendiri yang hanya bernilai IDR 6,07 trilyun. Dengan demikian, perlu difahami metode dan Teknik dalam melakuan penilaian atau valuasi suatu proyek pertambangan.

Definisi valuasi menurut kamus besar Oxford adalah “the amount of money something is worth”. Di mana, menurut Professor Richard Minnit dan muridnya Associate Professor Eric Lilford dari University of The Witwatersrand, Johannesburg, menyebutkan bahwa nilai suatu proyek sangat tergantung dari waktu melakukan valuasi, ekspektasi masa depan, nilai aset, kondisi pasar, tahapan proyek serta keahlian seorang valuator. Adapun rujukan valuasi nilai tambang ini adalah mengacu kepada standar VALMIN 2015 Australia, CIMVAL 2019 Kanada dan SAMVAL 2016 dari Afrika Selatan dan beberapa standar lain yang ada di dunia.

Waktu melakukan valuasi sangat berpengaruh terhadap nilai suatu properti. Harga timah yang menyentuh level tertinggi pada tahun 2022 akan memberikan nilai properti yang tinggi dibandingkan di saat harga timah terjerembab di titik terendah. Tahapan proyek pun sangat krusial terhadap penilaian suatu proyek pertambangan. Ada tiga model valuasi yang umum dikenal di dunia, yaitu: pendekatan pasar (Market-based approach), pendekatan biaya (cost-based approach) dan pendekatan pendapatan (income-based approach). Untuk tahap eksplorasi awal dan pra studi kelayakan, maka model yang ideal adalah pendekatan pasar dan biaya. Untuk tahapan bankable fesibility study, maka model yang digunakan adalah Net Present Value (NPV).

Dengan tahapan dengan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) yang dimiliki PT. Timah di kawasan laut Belitung Timur (Olivier dan sekitarnya), maka tahapan penilaian properti tentunya telah menggunakan metode pendekatan pendapatan yaitu net present value. Metode ini memiliki 3 komponen utama yaitu, pendapatan, biaya operasional dan biaya kapital. Dalam menentukan pendapatan, harga komoditas adalah poin yang paling krusial. Untuk itu, harus dilakukan kajian secara mendetil untuk meramal harga timah masa depan karena ini sangat berpengaruh terhadap hasil valuasi. Ada beberapa model peramalan terkini seperti machine learning dan hybrid.

Kemudian, biaya operasional dan biaya kapital harus menyesuaikan dengan tahapan proyek (Conceptual, Pra-studi kelayakan, studi kelayakan dan produksi). Untuk proyek dengan tahapan produksi, maka bisa dilakukan estimasi biaya menggunakan pendekatan “Bottom-up approach”. Kajian ini akan sangat detil dan komprehensif mengingat data yang dimiliki pada tahapan produksi juga sangat lengkap.

Kemudian tahapan selanjutnya adalah menentukan nilai diskonto (discount rate). Untuk menilai properti tambang, nilai diskonto ini telah mengalami evolusi dari banyak ahli. Karena sektor pertambangan adalah sektor bisnis dengan resiko sangat tinggi. Pendekatan ini maka harus mampu mewakili diskonto perusahaan dan diskonto resiko proyek. Diskonto perusahan akan dikeluarkan oleh perusahaan secara berkala. Umumnya perusahaan menggunakan Weighted average cost of capital (WACC) dimana biasanya pembiayaan proyek di kucurkan dari institusi general corporate funds. Namun, nilai ini hanya untuk perusahaan, tidak berlaku untuk proyek. Untuk itu, perlu penyesuaian yang dikenal dengan risk-adjusted discount rate (RADR). Selain kondisi perusahaan, model ini akan mempertimbangkan komoditas yang ditambang (emas, logam dasar, perak dalam emas atau emas dalam tembaga), tahapan proyek, teknologi yang digunakan, keterpencilan daerah operasi dan resiko suatu negara (country risk premium).

Semua aspek tersebut harus difahami oleh seorang valuator proyek tambang dimana valuasi proyek tambang sangat berbeda dengan valuasi proyek lainnya mengingat proyek tambang merupakan bisnis dengan resiko sangat tinggi. Untuk itu, sangat disarankan untuk memahami metode valuasi proyek pertambangan sehingga tidak terjebak dengan isu potensi ekonomi yang fantastis namun belum tentu bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya. (Veriyadi)

Penulis

Ahli Valuasi Proyek Pertambangan dan peramalan harga komoditas logam dan energi dengan pengalaman lebih dari 20 tahun. Menyelesaikan Strata -1 di Teknik Pertambangan Universitas Trisakti, Jakarta, Master of Science (MSc) di Camborne School of Mines, University of Exeter, Inggris dengan fokus ke mineral asset valuation menggunakan Net Present Value dan Real Option, dan program Philosophy of Doctor (Ph.D) dari University of the Witwatersrand, Johannesburgh dengan penelitian fokus kepada peramalan harga emas, tembaga dan platina masa dengan menggunakan pendekatan kuantitatif.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *