Dari kata-kata nenek moyang, turun-temurun terdapat sebutan gunung dengan sebutan “gunong” serta “kematang/matang” untuk gunung yang lebih kecil yang kemudian dikenal dengan sebutan “bukit”.
Bahasa memiliki genealogi, ada pula yang mengatakan bahwa bahasa menunjukkan identitas bangsa. Sejarah tidak hanya terkait dengan sosok raja dan keturunan, tetapi bahasa dan kata-kata juga berperan di dalamnya.
Gunong Gadong yang hampir menyatu dengan Gunong Kubing turut menyatukan Kampung Lassar dan Perepat. Gadong merupakan flora yang tersebar tidak hanya pada gunung, tetapi juga di tebat (punggir Aik Kecil) dan padang (tempat dataran terbuka).
Mengenal Gunong Gadong juga berarti mengenal kearifan lokal penduduk yang hidup dengan alam dan kisah sastra tinggi yang bernuansa magis.
Kisahnya, ketika Bulan Rayak bersinar, Bulo-bulo merunduk antara Gun0ng Kubing dan Gunong Gede, semilir angin merambat pelan dan gemerincing suara bulu perindu, belalu-lalang para buyut di atas temaram sinar rembulan.
Tidak hanya kisah sastra tinggi yang diceritakan, tetapi panorama alam di puncak Gunong Gadong juga menyegarkan pikiran, mata, hati. Ketika melihat hamparan permadani hijau serta megahnya laut pesisir, kesadaran bahwa kita hanya manusia yang begitu kecil di atas sebuah gunung pun semakin tumbuh.
Membayangkan dimensi masa lalu Kampong La Sar (aliran sungai) memperkuat hubungan dua gunung dan payak (hunian di lembah).
Budaya hidup mandiri dari sungai, ume, sunggar madu, nirok nanggok, dan kelekak buah-buahan telah ada sejak dulu hingga saat ini masih cukup bertahan. Di harapkan, kehidupan mandiri masyarakat menjadi kehidupan mandiri bangsa dan negaranya. Mengenal Gunong Gadong tentu akan membuat kita bangga menjadi orang Kampong La Sar, mengenal masa lalu juga berarti mengenal jati diri orang Belitung. (Campa, 110523)
NN (Nok Nulis e) : Merwan
