JAKARTA, ANOQ NEWS – Di bawah kepemimpinan ST Burhanuddin, Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung) menunjukkan taringnya dalam pemberantasan korupsi. Sejak dilantik pada 2019, Burhanuddin telah mengantarkan Kejagung dalam menangani berbagai kasus mega korupsi yang menggemparkan publik.
BACA JUGA : Pj Bupati Belitung Evaluasi Potensi Tambang Pasir Kuarsa, Libatkan Ahli
Beberapa perkara mega korupsi telah berhasil ditangani di bawah kepemimpinannya, seperti Jiwasraya, ASABRI, Garuda Indonesia, impor tekstil, garam, besi, PT Duta Palma, minyak goreng, impor gula, dan PT Timah, dengan total kerugian mencapai triliunan rupiah.
Keberhasilan Kejagung dalam menangani kasus-kasus tersebut tidak lepas dari strategi dan inovasi yang diterapkan Burhanuddin. Salah satu strateginya adalah menerapkan pasal tindak pidana pencucian uang sebagai tindak pidana kumulatif. Hal ini dilakukan untuk mengakumulasikan pengembalian kerugian negara. Selain itu, Kejagung juga menerapkan unsur perekonomian negara dalam menghitung hukuman pelaku dan menjerat korporasi menjadi pelaku tindak pidana.
“Korupsi adalah kejahatan luar biasa, sehingga membutuhkan strategi khusus dalam pengungkapannya,” kata Burhanuddin dalam keterangannya, Selasa (9/4).
Penerapan unsur perekonomian negara dalam menghitung kerugian negara sempat menimbulkan polemik. Hal ini dikarenakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 25/PUU-XIV/2016 telah menghilangkan frase “dapat” pada Pasal 2 dan Pasal 3 dalam Undang-Undang tentang pemberantasan Tindak pidana korupsi. Akibatnya, kualifikasi delik korupsi dimaknai sebagai delik materill, di mana kerugian Negara harus benar terjadi atau nyata (actual loss).
BACA JUGA : Polemik Lahan di Desa Tanjung Rusa: SKT, HGU, dan Dugaan Gratifikasi
Namun, Burhanuddin menegaskan bahwa perhitungan kerugian Negara dengan perekonomian Negara adalah dua hal yang berbeda. Kerugian Negara hanya dilihat dari pembukuan atau perhitungan secara akuntansi, sedangkan kerugian perekonomian Negara mempertimbangkan segala aspek dampak yang diakibatkan oleh tindak pidana tersebut.
“Kerugian negara akibat korupsi tidak hanya dilihat dari pembukuan, tetapi juga mempertimbangkan dampak seperti pengurangan pendapatan negara, penurunan investasi, kerusakan infrastruktur, dan gangguan stabilitas ekonomi,” papar Burhanuddin.
Dalam kasus korupsi di sektor sumber daya alam seperti batubara, nikel, emas, timah termasuk galian C, kerugian perekonomian Negara juga harus memperhitungkan kerusakan lingkungan. Hal ini termasuk mengembalikan kondisi lingkungan seperti sedia kala, memperhitungkan manfaat yang hilang akibat lingkungan rusak, dan kerugian ekologi karena telah mengakibatkan kematian bagi makhluk hidup akibat limbah beracun.
“Kerusakan ekologi mengakibatkan penurunan kualitas alam dan lingkungan, membutuhkan waktu dan biaya mahal untuk merehabilitasinya,” kata Burhanuddin.
Burhanuddin menekankan bahwa korupsi tidak hanya dalam konteks pengadaan barang dan jasa atau suap menyuap, tetapi titik beratnya adalah kerugian negara dan perekonomian negara. “Proyek-proyek strategis nasional yang berdampak luas bagi kehidupan masyarakat harus dijaga dan diawasi agar terhindar dari korupsi,” imbuhnya.
Kejahatan korupsi, menurut Burhanuddin, melemahkan posisi tawar negara dalam pergaulan internasional dan mengakibatkan ketidakstabilan negara secara masif. “Kita tidak boleh kalah dengan koruptor.
Oleh karena itu, Burhanuddin kembali menegaskan bahwa penegakan hukum korupsi tidak bisa lagi dilakukan dengan cara-cara konvensional.
“Kita harus menjadikan pelaku korupsi sebagai musuh bersama,” tandasnya. (Red)
Tetap terkini dengan informasi terbaru, ikuti kikyanto.com di Google News