ANOQ NEWS, JAKARTA – Jaksa dan penyidik tindak pidana tertentu di Indonesia saat ini menghadapi sorotan tajam terkait peran mereka dalam penegakan hukum. Prof. Dr. Amir Ilyas, SH. MH, Guru Besar Ilmu Hukum, menyampaikan pandangannya dalam sebuah keterangan tertulis pada Selasa, 28 Januari 2025, mengenai perubahan yang mungkin terjadi dalam sistem hukum acara pidana Indonesia.
BACA JUGA : MAKI Heran! Hasil Survei Citra Penegak Hukum Tak Sesuai Prestas
Pembaharuan ini berkaitan dengan revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 yang dirancang untuk menguatkan perlindungan hak asasi manusia dalam proses penegakan hukum. Revisi ini akan berlaku penuh pada 2 Januari 2026, mengikuti semangat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 yang lebih baru. Salah satu topik yang kini tengah hangat diperbincangkan adalah rencana untuk “menunggalkan” fungsi penyidikan, yang sebelumnya melibatkan berbagai instansi, ke dalam satu institusi, yaitu Polri. Gagasan ini tidak hanya menarik perhatian akademisi, tetapi juga membangkitkan kecemasan dari berbagai pihak, termasuk kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang khawatir akan tergerus kewenangannya pasca-revisi hukum acara pidana.
Diskursus mengenai kewenangan Kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana tertentu, seperti kasus korupsi dan pelanggaran HAM berat, masih terbagi menjadi dua kutub pendapat. Di satu sisi, ada yang mendukung agar kejaksaan tetap diberikan kewenangan tersebut. Namun, di sisi lain, ada pula yang menginginkan agar kewenangan penyidikan itu dicabut, terutama dari kalangan yang terlibat dalam “ego sektoral” antar lembaga, serta dari para mantan narapidana korupsi yang memiliki pengaruh dalam dunia politik dan korporasi.
Gagasan untuk menghilangkan fungsi penyidikan kejaksaan bukanlah hal baru. Tiga tahun setelah lahirnya Undang-Undang Kejaksaan pada tahun 2004, seorang purnawirawan TNI, Subarda Midjaja, menggugat Pasal 30 huruf d UU Kejaksaan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Meskipun gugatan tersebut ditolak oleh MK, hal ini membuka ruang diskusi lebih lanjut mengenai apakah penyidikan itu seharusnya menjadi kewenangan tunggal Kepolisian. Berdasarkan Putusan MK Nomor 28/PUU-V/2007, MK menegaskan bahwa fungsi penyidikan bukan hanya hak Kepolisian, melainkan bisa menjadi kewenangan institusi lain seperti Kejaksaan, apabila diatur oleh undang-undang.
Perdebatan tentang siapa yang paling berwenang dalam penyidikan tindak pidana tertentu sebenarnya tidak perlu lagi diperpanjang. Menurut Ilyas, seharusnya semua pihak fokus pada misi utama penegakan hukum demi kepentingan masyarakat. UU KPK dan UU Tipikor, misalnya, lahir bukan untuk membubarkan lembaga lain, tetapi untuk memperkuat upaya pemberantasan korupsi yang pada akhirnya akan menjamin pembangunan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
Hukum yang diterapkan seharusnya berjalan seiring dengan kenyataan sosial yang ada, bukan sekadar teori yang dibahas dalam ruang kuliah. Perkembangan modus operandi kejahatan yang semakin kompleks seiring kemajuan teknologi dan informasi juga menuntut adanya penyebaran kewenangan penyidikan. Penyidikan tidak hanya menjadi domain Kepolisian, tetapi melibatkan juga Kejaksaan, KPK, dan lembaga penyidik lainnya yang saling bekerja sama dengan prinsip “diferensiasi fungsional” dan “check and balance.”
Pada akhirnya, baik Kepolisian, Kejaksaan, KPK, maupun PPNS lainnya harus menjalankan fungsinya dengan prinsip pengawasan yang ketat, baik antar lembaga penegak hukum maupun melalui jalur pengawasan eksternal seperti praperadilan. Dalam hal ini, penting bagi setiap lembaga penegak hukum untuk berhati-hati dan tidak gegabah dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka. Sebab, sistem hukum yang adil harus memastikan perlakuan yang setara bagi semua pihak, tanpa pandang bulu. (Red)
Tetap terkini dengan informasi terbaru, ikuti kikyanto.com (ANOQ NEWS) di Google News