BELITONG, ANOQ NEWS – Di tengah atmosfer Ramadan yang penuh spiritualitas, sebuah puisi berjudul “Senja Ramadan di Negeri Lampion” karya Yudhie Guszara menghadirkan refleksi mendalam tentang realitas sosial dan budaya di Belitung.
Puisi ini membawa pembaca menyelami senja Ramadan di Negeri Laskar Pelangi, di mana keindahan alam berpadu dengan realitas sosial yang kompleks. Yudhie Guszara menggunakan bahasa puitis dan simbolisme yang kaya untuk mengantarkan kritik sosialnya, mengajak pembaca untuk merenungkan berbagai fenomena yang terjadi di tengah modernisasi.
Senja Ramadan Di Negeri Lampion Karya: Yudhie Guszara Padamu wahai senja Senja Ramadan di negeri lampion Negeri ku adalah ibu pertiwi Negeri Belitong bertuah Tempat datuk moyangku Melarung barisan Jong dan kulek Mendaki debur gelombang amarah Sejak janin embun meretas fajar Hingga langit senja merah saga Padamu wahai senja Senja Ramadan di negeri lampion Di sudut penjuru pusat kota Melintang barisan lampion merah Di atas kepala kepala Kaum ku Gerbang gapura angkuh berdiri Di jalur jalan Sriwijaya Melintang gagah mewah dominasi Kubus kubus wajah Entah wajah wajah siapa Saling tumpang tindih Penuh warna warni Ya...warna warni kepentingan Suara suara lirih Pedagang pedagang takjil Berdzikir dalam sunyinya keramaian Bedoa dalam sepi hiruk pikuk Tak terbeli sesuai harap Senja sunyi dengan nafas sisa Padamu wahai senja Senja Ramadan di negeri lampion Tak terbeli Padamu wahai senja Senja Ramadan di negeri lampion Melayu melayu yang terbeli Menabur ribuan batu karang Berenang di luasnya samudera Dan menelan habis habisan Harga sebuah peradaban. (Catatan Ramadan Lampion, Belitong, Selasa 19 Maret 2024, sambil menikmati kopi di Warkop Janggut)
Puisi ini menjadi pengingat bahwa modernisasi tidak harus menggeser tradisi. Justru, tradisi dan modernitas harus berjalan beriringan, saling memperkaya dan memperkuat satu sama lain. (Red)
Tetap terkini dengan informasi terbaru, ikuti kikyanto.com di Google News